Posted on

Di pertengahan tahun 2014, dunia digemparkan dengan eksistensi sebuah organisasi yang menggunakan jalur kekerasan untuk mencapai kepentingannya membentuk negara Islam, Islamic State of Iraq and Syria[1] (ISIS). Organisasi ini merupakan pecahan dari Al-Qaeda, sebuah kelompok terorisme yang terkenal setelah Peristiwa 11 September[2], yang keberadaannya tidak diakui di Irak dan Suriah karena dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam yang dianutnya selalu menggunakan jalur kekerasan dan tidak segan-segan untuk membunuh.[3] Di bawah kepemimpinan Abu Bakar al-Baghdadi, ISIS sempat bergabung dengan Front Al Nusra yang merupakan afiliasi Al-Qaeda di Suriah. Namun, ISIS yang bertentangan dengan misi yang ingin dicapai oleh Front Al Nusra membuat Abu Kamal, pemimpin Front Al Nusra, melakukan serangan kepada ISIS.[4] ISIS memiliki cita-cita untuk membentuk negara Islam murni dengan melakukan berbagai penaklukan yang mana telah dilakukan di Irak dan Suriah.[5]

Untuk mencapai kepentingannya dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, ISIS pun dikecam dan dianggap berbahaya oleh seluruh dunia. Penalukkan wilayah yang menggunakan cara kekerasan dan upayanya untuk mendirikan negara Islam yang berbasis pada khilafah dengan menyatukan Irak, Suriah, Mesir, Libanon, Yordania, dan Israel yang menjadikan ISIS dianggap sebagai kelompok radikal yang wajib untuk dilawan oleh setiap negara.[6] Bahkan ISIS tanpa segan untuk menghabisi korbannya dengan sadis dan merekamnya serta mengedarkannya melalui media sosial yang membuat kengerian.[7] Selain itu, penyebaran agama Islam yang menggunakan jalan kekerasan ini juga menjadi pertentangan bagi kaum Islam sendiri, khususnya Islam Syiah. Ini disebabkan ISIS tanpa segan untuk membunuh mereka yang berlawanan dengan Islam Sunni, khususnya mereka yang mengadopsi nilai-nilai Barat dan Islam Syiah. Dengan alasan-alasan itu, ISIS dianggap menjadi sebuah organisasi yang berbahaya dan dilarang untuk menunjukkan eksistensinya. Ini ditambah pula dengan anggota-anggota ISIS yang adalah orang-orang yang siap berperang dan sebagian pula telah dicap sebagai terorisme dari negara-negara di berbagai belahan dunia.[8]

Melalui perspektif Konstruktivisme, Kajian Keamanan sebagai sebuah studi yang mempelajari berkaitan dengan keamanan yang tidak terbatas kepada negara saja, tetapi juga kepada individu-individu sebagai subjek dan aktor internasional serta memiliki kajian pada isu tradisional dan non-tradisional akan menjadi perspektif analisis untuk membahas fenomena ISIS di dunia internasional di saat ini[9]. Tidak hanya sampai di sana, Kajian Keamanan pun menjelaskan bagaimana pengaruh ISIS terhadap keamanan individu dan keamanan nasional, hingga memberikan rekomendasi kebijakan untuk menyelesaikan fenomena ISIS.

ISIS dari Sisi Kajian Keamanan

Paul D. Williams menyatakan keamanan merupakan menjadi hal yang penting di masa kini karena tidak akan mungkin politik internasional menanggalkan keamanan karena ancaman-ancaman seperti kelaparan, pembunuhan, penyiksaan, penolakan terhadap pendidikan, dan lain-lain masih terjadi.[10] Fenomena ISIS di mana terjadinya pembunuhan, penyiksaan, dan pemaksaan terhadap ideologi dan agama telah membuat ancaman baru dalam politik internasional. Ancaman terhadap keamanan dunia pun hadir seiring dengan eksistensi dan pergerakan ISIS dalam upayanya mencapai kepentingan dalam menciptakan negara Islam. Berbagai strategi militer yang digunakan oleh ISIS, seperti pembunuhan massal, penculikan anggota kelompok keagamaan dan suku, dan pemenggalan tentara dan wartawan, telah menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan manusia dan keamanan negara.[11] Apabila dikaji dari keanggotaannya, ISIS mendapatkan pasukan perang yang mencapai puluhan ribu yang berasal dari berbagai negara. Hal lainnya adalah keberadaan mereka yang sulit untuk dilacak karena mereka pun memegang paspor dari negara lain yang memungkinkan penyebaran ISIS semakin mudah ketika pasukan tersebut kembali ke negara asal.[12] Ini pula mengapa ISIS dapat digolongkan menjadi ancaman terhadap keamanan internasional.

Kajian Keamanan menilai ISIS menjadi ancaman keamanan dalam skala internasional karena ISIS tidak hanya melibatkan satu negara saja, melainkan banyak negara dari berbagai dunia. Menekan keberadaan ISIS, baik di dalam politik internasional dan politik domestik, menjadi jalan untuk mengendalikan pengaruh ISIS. Apabila ISIS tidak mampu dikendalikan, stabilitas politik internasional pun akan terganggu dan jaminan keamanan dunia akan menjadi terhambat dan tidak terkendali. Selain itu, jaminan kebebasan manusia akan terhambat dan setiap warga negara memungkinkan hidup dengan ancaman apabila keberadaan ISIS ada di negara mereka dan menjadi liar. Bagi negara, khususnya negara Timur Tengah, keberadaan ISIS merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan.[13] Bagi individu, ISIS merupakan teror yang paling dekat karena mungkin saja ISIS berkelindan di sekeliling mereka tanpa disadari.

 

Konstruktivisme: Pendekatan Untuk Memandang ISIS

Dalam Ilmu Hubungan Internasional, ada beberapa perspektif yang dapat mengkaji keamanan sebagai sebuah ilmu yang mampu menjawab fenomena yang terjadi, seperti ISIS. Kajian Keamanan pun dapat dikaji dengan pendekatan konstruktivisme, sebuah pendekatan yang menyatakan untuk melihat kejadian politik seperti ISIS perlu memperbanyak instropeksi dan mengurangi teori-teori besar.[14] Keamanan menjadi sebuah dimensi sosial yang membuat ISIS tidak dapat diselesaikan secara teori saja, tetapi dengan menganalisis apa yang ada di balik ISIS tersebut sehingga mereka dapat dianggap sebagai sebuah ancaman dari keamanan tersebut dan mengapa mereka dapat melakukan tindakan yang di luar batas-batas kemanusiaan tersebut. Konstruktivisme juga memberikan pandangan lain daripada realisme dan liberalisme bahwa dalam memandang keamanan tidak dapat digunakan kebenaran tunggal[15], apalagi dengan mengkaji ISIS sebagai sebuah fenomena yang telah mengancam kehidupan masyarakat luas. Hal lain yang menjadikan ISIS sebagai ancaman keamanan dalam perspektif Konstruktivisme adalah ISIS menyebarkan nilai-nilai yang secara langsung ataupun tidak akan memberikan dampak kepada human security dan national security.

Ini pula yang mendasari bahwa ISIS tidak dapat dikaji secara negara saja, tetapi juga individu karena referent object yang dimiliki dalam konstruktivisme tidak terbatas hanya pada negara. ISIS sebagai aktor di luar negara pun memiliki kemampuan untuk mengendalikan politik internasional, apalagi otoritas negara yang diatur dalam sistem internasional yang anarki akan memiliki perspektif dan tindakan yang berbeda-beda dalam menyikapi ISIS. Jika Amerika Serikat dan Inggris telah menganggap ISIS sebagai organisasi terorisme yang wajib untuk dibasmi, negara-negara lain belum tentu memiliki anggapan yang sama dan tindakan yang serupa untuk menyeimbangi pandangan kedua negara tersebut. Sistem politik internasional yang anarki ini memungkinkan negara-negara memiliki kedaulatan yang sama, tetapi dalam menyikapi fenomena ISIS, akan sangat dimungkinkan muncul rasa ketakutan, tidak aman, dan ketidakpastian. Ini pula negara-negara tidak mampu untuk berintegrasi dalam kerjasama memberantas ISIS apabila ISIS sudah dianggap sebagai ancaman terhadap dunia internasional. Kebebasan yang tercakup dalam Konstruktivisme tersebut memiliki nilai positif dan negatif, seperti setiap referent object berhak untuk mengemukakan pandangannya mengenai ISIS, tetapi karena akan dimungkinkannya pandangan yang berbeda-beda, pengendalian ISIS di dalam politik internasional pun akan menjadi sulit untuk dikendalikan.

 

Kapabilitas Internasional Dalam Menangani Kekerasan Oleh ISIS

Sikap dunia internasional yang sudah menentang keberadaan ISIS pun memunculkan tindakan-tindakan lain sebagai manifestasi atas hal tersebut. Tindakan yang cenderung dilakukan oleh negara-negara yang menentang adalah secara militer di mana kekerasan dijadikan jalan keluar untuk memusnahkan ISIS. Hal ini diperkuat seperti kebijakan Presiden Barrack Obama mengirimkan tentara Amerika Serikat ke Irak dan Suriah untuk menggempur pasukan ISIS setelah ISIS merilis video pemenggalan kepala dua orang wartawan asal Amerika Serikat.[16] Hal serupa juga dilakukan oleh Inggris dengan mengirimkan pasukan dan memimpin serangan udara ke Irak setelah David Haines, relawan yang dikabarkan tewas dipenggal oleh pasukan ISIS saat sedang berada di Suriah untuk bekerja pada sebuah badan kemanusaain internasional.[17] Tidak hanya sampai di sana, Perdana Menteri David Cameron pun juga menyatakan terorisme di Inggris telah mencapai level ‘severe’, level tertinggi sepanjang tiga tahun terakhir.[18]

Berbagai negara pun telah menyatakan ISIS sebagai organisasi teroris. Sepanjang tahun 2014, pelarangan warga negara untuk berkunjung ke negara-negara Timur Tengah pun dilakukan oleh pemerintah negara-negara di berbagai benua. Pada 7 Maret 2014, Arab Saudi menyatakan ISIS sebagai organisasi terlarang[19] yang kemudian diikuti oleh Inggris[20] dan Indonesia[21] di tahun yang sama. Parlemen Turki pun telah memutuskan untuk mengirimkan pasukannya menggempur ISIS di Irak dan Suriah pada Oktober 2014.[22] Travel advice pun dikeluarkan oleh berbagai negara untuk mencegah warga negaranya berpergian keluar negeri ke kawasan yang diduga telah dikuasai oleh ISIS.[23]

Permasalahan ISIS juga telah dibawa ke Dewan Keamanan PBB (DK PBB) agar dapat dibahas ke Sidang Umum PBB. Berdasarkan usulan Prancis, DK PBB telah melakukan pertemuan untuk membahas tindakan apa yang dapat diambil oleh anggota PBB dan DK PBB dalam menanggulangi ISIS.[24] Pemerintah Irak, dengan dukungan dari DK PBB dan berbagai lembaga internasional, telah menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat untuk menggempur ISIS. Langkah tersebut diambil karena berkaitan dengan kedaulatan Irak sebagai sebuah negara yang sedang terancam akibat warga negaranya yang menjadi target pembunuhan organisasi yang telah dilarang oleh Pemerintah Irak.

 

Human Security ke National Security (dan vice versa)

Apakah ISIS merupakan isu human security atau national security? Keduanya sama-sama benar karena ini tergantung kita melihat dari sudut pandang subjek. Namun, hal yang tidak dapat dimungkiri adalah keduanya akan saling berkaitan satu dengan yang lain. Tidak mungkin membicarakan human security tanpa membicarakan national security, begitu pula sebaliknya. Ini disebabkan karena objek utama yang akan menjadi pembahasan keduanya adalah keamanan dan manusia. Dalam Kajian Keamanan, pemenuhan rasa aman manusia menjadi sebuah prioritas utama yang tidak dapat disanggah.

Dalam membicarakan national security, hal yang paling utama adalah kedaulatan sebuah negara di mana ada wilayah, rakyat, dan pemerintah.[25] Apabila national security tidak mampu dicapai oleh sebuah negara, maka human security pun akan terganggu. ISIS sebagai sebuah organisasi yang menjadi sumber ancaman dari luar negara pun memberikan efek yang signifikan terhadap human security dan national security. Seperti yang terjadi di Irak dan Suriah, kegelisahan masyarakat sipil pun terganggu dengan upaya penguasaan wilayah yang dilakukan ISIS dengan jalur kekerasan. Hak warga negara untuk mendapatkan kehidupan yang bebas dan layak pun menjadi terancam. Selain itu, national security Irak dan Suriah pun menjadi terganggu karena wilayah Irak dan Suriah ‘dicaplok’ oleh ISIS dan tanpa segan ISIS pun mendirikan sebuah negara sehingga semakin sempit kedaulatannya di bawah pemerintahan resmi.

Dalam konteks yang lebih luas, human security pun menjadi ancaman, khususnya personal security di mana akan muncul kekhawatiran-kekhawatiran di lingkungan masyarakat akibat pergerakan ISIS yang semakin luas. Akan sangat dimungkinkan terjadi tindakan teror individual jika adanya perbedaan nilai kepercayaan dan ideologi yang ditemukan oleh ISIS. Muncul kengerian secara global dan berbagai upaya perlawanan untuk kembali menciptakan rasa aman dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Keberadaan ISIS yang semakin meluas dan ikut meliputi berbagai negara pun memberikan dampak pada national security di mana ancaman kedaulatan semakin dekat dan nyata sehingga menimbulkan keresahan di pemerintahan dan masyarakat publik.

 

Bukan Jalan Kekerasan: Rekomendasi Kebijakan Penanggulangan ISIS

ISIS yang dilahirkan karena adanya perbedaan dalam memaknai nilai dalam agama, khususnya agama Islam, dan membuat tindakan-tindakan yang dilakukannya pun selalu mengatasnamakan Islam membuat tindakan secara militer akan sangat sulit untuk mengendalikannya, mengingat juga penyebaran yang telah dilakukan oleh anggota-anggotanya pun sudah melibatkan banyak negara. Selain itu, memberantas tindakan kekerasan dengan kekerasan pun tidak memberikan efek yang selalu memenuhi harapan seperti apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat untuk melakukan tindakan balas dendam kepada Al-Qaeda di Afganistan. Untuk itu, penyelesaian melalui non-militer akan lebih mengurangi risiko, seperti timbulnya korban jiwa yang lebib banyak, keuangan yang harus dikeluarkan untuk perang, dendam antar-kelompok, dan lain-lain.

Hal yang paling memungkinkan adalah menggunakan soft-diplomacy di mana berbagai negara di bawah naungan organisasi internasional membangun komitmen bersama untuk memberikan edukasi kepada masyarakatnya terhadap nilai-nilai yang penting dalam beragama, khususnya mengenai pertentangan yang dibangun oleh ISIS. Dengan membangun edukasi, masyarakat dapat memahami apa itu ISIS dan mengapa dunia internasional menentang kehadirannya serta apa yang perlu dilakukan oleh masyarakat agar tidak terpengaruh dengan nilai-nilai negatif ISIS mengenai vandalisme dalam beragama dan membentuk negara Islam. Selain itu, penanggulangan ISIS pun tidak lagi dengan cara kekerasan, melainkan negosiasi bersama yang difasilitasi pihak yang netral di mana dialog antra pihak-pihak terkait akan dijalin tanpa perlu persenjataan. Apa yang dilakukan oleh ISIS adalah karena ada hal yang diinginkannya tidak tercapai. Selama ini pun, penyelesaian antara negara dengan pihak pemberontak lebih banyak berhasil dengan jalan seperti ini. Ketika ISIS menginginkan sesuatu dan sanggup dipenuhi oleh negara-negara yang bersangkutan, maka diplomasi preventif pun tidak perlu dilakukan. Edukasi terhadap nilai-nilai Islam yang anti-akan kekerasan pun diperlukan setelah rekonsiliasi dilaksanakan. Pemberian edukasi tersebut diperlukan agar mencegah hal yang sama terulang kembali dan penyebaran nilai negatif pasca-ISIS dapat menurun.

Namun, ini bukan berarti menanggalkan seluruh kekuatan militer. Kekuatan militer diperlukan sebagai kekuatan penyeimbang agar proses diplomasi yang dilakukan secara mutual agreement dijalankan dan proses pengawasan dilakukan apabila ada pihak yang masih menggunakan kekerasan untuk mencapai kepentingannya. Kekuatan militer digunakan untuk menyeimbangkan apa yang ada di meja perundingan dan juga di lapangan agar tindakan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat ditangani dengan cepat selama tindakan tersebut harus ditangani pula dengan kekerasan.

[1] ISIS dalam Bahasa Indonesia adalah Negara Islam Irak dan Syam atau juga dikenal sebagai Negara Islam dan Negara Islam Irak dan Levant (Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL)).

[2] Peristiwa 11 September adalah sebuah penyerangan yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda dengan membajak pesawat penumpang dan menabrakkannya ke World Trade Center di New York, Pentagon di Arlington, dan satu pesawat lainnya gagal dalam upaya penyerangannya ke Washington D.C. (Stephen Sloan dan Sean K. Anderson, Historical Dictionary of Terrorism, (Maryland: Scarecrow Press, Inc., 2009), hal. 705-706)

[3] Steve Coll, “In Search of a Strategy”, The New Yorker, <http://www.newyorker.com/magazine/2014/09/08/return-war>, diakses pada 3 Oktober 2014.

[4] Ali Fisher dan Nico Prucha, “ISIS Is Winning the Online Jihad Against the West”, The Daily Beast, <http://www.thedailybeast.com/articles/2014/10/01/isis-is-winning-the-online-jihad-against-the-west.html>, diakses pada 3 Oktober 2014.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Dan Caldwell dan Robert E. Williams Jr., Seeking Security in an Insecure World, (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2012), hal. 1-4.

[10] Paul D. Williams, Security Studies: An Introduction, (Oxon: Routledge, 2013), hal. 1.

[11] Fisher, loc.cit.

[12] Ibid.

[13] Matthew Dunn, “ISIS threat: Why we need American boots on the ground in Syria and Iraq”, Fox News, <http://www.foxnews.com/opinion/2014/09/30/isis-threat-why-need-american-boots-on-ground-in-syria-and-iraq/>, diakses 3 Oktober 2014.

[14] Peter Hough, Understanding Global Security, (London: Routledge, 2004), hal. 6.

[15] Shahrbanou Tadjbakhsh dan Anuradha M. Chenoy, Human Security: Concepts and implications, (Oxon: Routledge, 2007), hal. 87.

[16] Zeke J. Miller, “ISIS Video Shows Killing of Second American Journalist”, Time, < http://time.com/3258167/steven-sotloff-isis-video-james-foley/>, diakses pada 3 Oktober 2014.

[17] Greg Botelho, “ISIS executes British and aid worker David Haines; Cameron vows justice”, CNN, < http://edition.cnn.com/2014/09/13/world/meast/isis-haines-family-message/>, diakses pada 3 Oktober 2014.

[18] Prime Minister’s Office, “Threat level from international terrorism raised: PM press statement”, GOV.UK, < https://www.gov.uk/government/speeches/threat-level-from-international-terrorism-raised-pm-press-conference>, diakses pada 3 Oktober 2014.

[19] Rania El Gamal, “Saudi Arabia designated Muslim Brotherhood terrorist group”, Reuters, < http://www.reuters.com/article/2014/03/07/us-saudi-security-idUSBREA260SM20140307>, diakses pada 3 Oktober 2014.

[20] Home Office, “Proscribed Terrorist Organization”, GOV.UK, < https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/354891/ProscribedOrganisationsAug14.pdf>, diakses 3 Oktober 2014.

[21] Singgih Soares, “BNPT Declares ISIS a Terrorist Organization”, Tempo, < http://en.tempo.co/read/news/2014/08/02/055596766/BNPT-Declares-ISIS-a-Terrorist-Organization>, diakses pada 3 Oktober 2014.

[22] Constanze Letsch dan Julian Borger, “Turkey MPs back military involvement in Iraq and Syria as Isis advances”, The Guardian, < http://www.theguardian.com/world/2014/oct/02/turkey-mps-deployment-iraq-syria-isis>, diakses pada 3 Oktober 2014.

[23] Dave Bender, “Western Europe, Tukery, on Israel’s Holiday Terror Warning List; Attacks by Returning ISIS Fighters Feared”, The Algemeiner, < http://www.algemeiner.com/2014/09/15/western-europe-turkey-on-israels-holiday-terror-warning-list-attacks-by-returning-isis-fighters-feared/>, diakses pada 3 Oktober 2014.

[24] France24, “UN calls for international action after attacks on Iraqi minorities”, France24, <http://www.france24.com/en/20140808-un-securtity-council-calls-action-Iraq-Isis-attacks/>, diakses pada 3 Oktober 2014.

[25] Donald M. Snow, National Security for a New Era, (New Jersey: Pearson, 2009), hal. 24.


2 Replies to “ISIS: Sebuah Analisis Kajian Keamanan Dalam Perspektif Konstruktivisme”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *