Posted on

ASEAN Community atau Masyarakat ASEAN akan dimulai pada tahun 2015 yang berarti waktu yang dimiliki oleh kesepuluh negara anggota ASEAN hanya tinggal menghitung mundur. Kebutuhan akan adanya proses integrasi sebagai implementasi keseriusan dari negara-negara anggota ASEAN untuk menuju babak yang lebih baik di kawasan Asia Tenggara menjadi dorongan penuh mengapa Masyarakat ASEAN perlu dijalankan pada tahun 2015. Setelah adanya cetak biru sebagai panduan untuk menuju kemajuan yang berarti dan menelaah hal-hal yang terjadi untuk menuju ASEAN Vision 2020, negara-negara ASEAN memutuskan bahwa tahun 2015 merupakan tahun yang tepat untuk ASEAN Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN).

Dari ketiga pilar yang dibangun untuk mengimplementasikan Masyarakat ASEAN, pilar ekonomi merupakan hal yang paling memungkinkan untuk dilaksanakannya proses integrasi. Hal ini memunculkan pertanyaan: Mengapa Masyarakat ASEAN harus dimulai dari ekonomi sementara ada pilar politik-keamanan dan sosial-kebudayaan yang juga menjadi pilar lainnya? Tentu saja ada banyak perspektif yang mampu menjawab pertanyaan tersebut, tidak terkecuali perspektif filosofis yang juga menjadi bagian dari kajian-kajian ilmu lain. Kajian ini akan membantu menjawab dari segi situasi Asia Tenggara di masa lalu, masa kini, dan masa depan dengan menelaah ketiga pilar sampai pada sebuah simpulan bahwa Masyarakat ASEAN yang paling memungkinkan adalah dari segi ekonomi.

Kembali pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, negara-negara di Asia Tenggara sedang berjuang untuk meraih kemerdekaannya dengan melawan kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Kesempatan untuk merdeka semakin terbuka lebar setelah berakhirnya perang yang membuat politik dan ekonomi domestik negara-negara Barat menjadi terganggu akibat kerugian dalam perang. Perjuangan untuk saling bahu-membahu untuk mendukung kemerdekaan satu dengan yang lain memunculkan solidaritas di antara negara-negara Asia Tenggara. Namun, sisa-sisa kolonialisme masih membekas hingga saat ini, seperti permasalahan perbatasan yang masih mendera negara-negara Asia Tenggara.

Pembentukan ASEAN sendiri pun tidak terlepas dari kegagalan beberapa organisasi regional yang coba dibangun oleh negara-negara Asia Tenggara untuk mencegah terjadinya perang. Kegagalan Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) pun menjadi pembelajaran bahwa regionalisasi Asia Tenggara tidak lagi dapat diintervensi oleh aktor-aktor Perang Dingin. MAPHILINDO dan Association of Southeast Asia (ASA) pun turut serta mengikuti jejak kegagalan SEATO. Berangkat dari hal ini, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura memulai langkah pembentukan regionalisasi yang kini dikenal sebagai ASEAN. Adanya kesamaan dalam nasib yang membuat negara-negara ini mampu bersatu dan bertahan, bukan kesamaan dalam bidang politik maupun sosial-budaya. Jejak itu pula yang membuat lima negara lainnya pun diterima sebagai anggota ASEAN.

ASEAN yang terdiri dari negara-negara bekas penjajahan pun masih menyimpan perbedaan dalam segi politik. Sistem pemerintahan dan sistem politik yang berbeda-beda membuat perjalanan ASEAN menjadi naik-turun. Ini ditambah pula dengan permasalahan sisa kolonialisme, yaitu batas wilayah yang belum tuntas, khususnya di kawasan Laut Tiongkok Selatan dan Indocina yang hampir setiap tahun memanas. Sistem politik yang berbeda-beda pada setiap negara akan mempersulit proses integrasi dan ini pula akan tidak mungkin mengeneralisasi seluruh negara dengan satu sistem politik yang sama karena permasalahan dan pendekatan yang dapat dilakukan pun tidak akan sama untuk ditangani dalam sistem pemerintahan dan sistem politik. Selain itu, kembali pada sejarah di mana kegagalan proses integrasi pun dapat terjadi ketika dimulai dari segi politik-keamanan karena setiap negara masih cenderung pada menegakkkan kedaulatannya sendiri dan memiliki kepentingan nasional yang tidak dapat disamakan satu dengan yang lain.

Meskipun terlihat adanya kesamaan dalam bidang sosial dan budaya, menggeneralisasi kehidupan masyarakat di Asia Tenggara dalam waktu yang sama dan singkat bukan perkara yang mudah. Sebaliknya, Masyarakat ASEAN 2015 tidak dapat diimplementasikan secara praktis dari segi sosial dan budaya karena karakter sosial dari satu negara terhadap negara yang lain tidak akan bisa serupa seutuhnya dan budaya dari setiap negara akan menjadi ciri khas yang akan sulit untuk dileburkan menjadi satu dalam proses integrasi ini. Namun, ini bukan berarti integrasi tidak dapat dilakukan, tetapi perlu kesadaran dan sosialisasi yang lebih lama untuk mendalami bahwa sosial dan budaya adalah hal sulit untuk disatukan dalam waktu yang singkat.

ASEAN sebagai organisasi regional kedua yang dinilai berhasil setelah Uni Eropa (UE) memiliki nilai historis yang besar dalam perkembangan studi Organisasi Internasional dan Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Keberhasilan itu turut serta memacu hubungan kerjasama di antara negara-negara Asia Tenggara dalam politik, ekonomi, sosial-budaya, dan keamanan. Lahirnya ASEAN tidak terlepas dari faktor sejarah di mana negara-negara Asia Tenggara memikili pengaruh kolonialisme dan imperialisme yang sangat kuat setelah Perang Dunia II. Adalah mencegah terjadinya perang yang membuat pembentukan ASEAN dilakukan. Kesadaran itu lahir karena masih banyak permasalahan di antara negara-negara Asia Tenggara yang dapat memicu konflik berkepanjangan, seperti masalah perbatasan, hak asasi manusia, keamanan regional, dan lain-lain. Semua permasalahan dimungkinkan selesai dengan cara kekerasan ataupun tidak, namun dengan pembentukan ASEAN yang memperkuat bagaimana negara-negara Asia Tenggara telah memiliki komitmen yang kuat untuk membangun kerjasama dalam berbagai pilar.

Lantas, perbedaan yang ada dalam pilar politik-keamanan dan sosial-budaya tidak serta-merta membuat negara-negara Asia Tenggara tidak dapat bersatu. Satu pilar yang dapat menjadi kesempatan bagi kesepuluh negara Asia Tenggara untuk berintegrasi adalah pilar ekonomi. Ada sesuatu yang khas dari pilar ini yang membuatnya dapat mendukung kedua pilar lainnya di masa yang akan datang. Mengingat tahun 2015 yang sebentar lagi, memang akan menjadi sulit untuk memulai proses integrasi secara bersamaan dalam tiga pilar tersebut. Fokus akan menjadi hilang apabila pilar satu tidak mampu mendorong pilar lain. Pilar ekonomi pun menjadi jalan dalam proses integrasi yang paling memungkinkan karena ada dua hal yang dapat dijadikan alasan mengapa Masyarakat ASEAN harus dimulai dari ekonomi: adanya kesamaan dalam esensi sebuah negara mengembangkan kemajuan ekonomi dan faktor historis dari UE yang secara tidak langsung berhasil dalam memulai integrasi tersebut.

Hakikat yang paling dasar dari setiap individu melakukan kegiatan ekonomi adalah pemenuhan atas kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas dalam hal-hal yang terbatas, seperti sumber daya. Hakikat yang berasal dari individu-individu tersebut tidak akan mudah terlepas dalam tujuan manusia untuk berekonomi. Keterbatasan tersebut yang membuat manusia akan lebih mudah bersatu dan saling berusaha untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain. Hakikat ekonomi tersebut akan melekat dan menjadikan setiap individu yang bersatu dalam negara akan menjalin interaksi untuk mendorong pengejawantahan kebutuhan dan keinginannya dalam kepentingan-kepentingan yang tertuang dalam tujuan nasional setiap negara. Hal tersebut akan sulit dimungkiri sepanjang manusia masih memiliki kebutuhan, sementara kelangkaan ataupun keterbatasan yang memaksa manusia akan saling berinteraksi meskipun ada kepentingan politik dan sosial-kebudayaan yang tidak mungkin untuk diabaikan.

Berangkat dari pemahaman itu, tentu saja setiap negara di Asia Tenggara akan berusaha untuk mendukung perekonomian dalam negeri maupun perekonomian regionalnya. Efek Domino yang terjadi pada krisis moneter 1998 telah memberikan banyak pelajaran bagi perkembangan ASEAN dalam berekonomi dan berpolitik. Ekonomi tidak dapat diabaikan apalagi dinomorduakan. Seperti pernyataan seorang ahli ekonomi integrasi, Ali M El-Agraa, bahwa proses integrasi tidak mungkin tidak dalam mengabaikan ekonomi dan politik, keduanya akan selalu berjalan bersamaan dan saling berkorelasi. Untuk itu, berbagai kebijakan dalam bidang perekonomian akan memiliki visi yang akan serupa: memenuhi kebutuhan dan keinginan yang direalisasikan dalam kepentingan nasional. Berbeda dengan pilar politik-keamanan dan sosial-budaya yang akan diimplementasikan dengan cara yang berbeda-beda, setiap negara akan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dengan cara yang lebih fleksibel di mana ego setiap negara akan cenderung dikurangi atau ditiadakan demi kepentingan nasional yang tercapai.

Dalam keadaan politik yang berbeda-beda dan sosial-budaya yang memiliki berbagai variasi, sangat dimungkinkan jika kesepuluh negara ASEAN memulai integrasi dari pilar ekonomi. Sejak krisis moneter yang melanda pada tahun 1998, kawasan Asia Tenggara pun selalu berusaha untuk memulihkan bidang ekonomi terlebih dahulu. Politik tanpa adanya tunjangan dari ekonomi akan sulit untuk terealisasi dan ekonomi tanpa adanya politik tidak akan memiliki arti apa pun bagi sebuah negara. Selain itu, kegagalan yang terjadi di masa lalu di masa pembentukan ASEAN akan menjadi pelajaran bermakna bagaimana sebuah organisasi regional akan sulit dibangun apabila kepentingan politik yang diutamakan di atas segala-galanya dan sosial-budaya akan sulit untuk diintegrasikan selama kedua pilar yang saling ekuivalen tersebut tidak mendukung.

Belajar dari proses integrasi yang dialami oleh organisasi regional yang dinilai paling berhasil, UE, pilar ekonomi memang pilar yang paling memungkinkan untuk diimplementasikan di waktu yang terbatas ini. UE dengan situasi dan kondisi politik-ekonomi yang berbeda-beda di 27 negara memiliki semangat yang sama dalam memulai integrasi ekonomi. Keberhasilan itu dapat terlihat dengan kebijakan UE untuk memulai proses integrasi wilayah dari segi ekonomi, seperti dalam pembentukannya yang bermula pada European Coal and Steel Community (ECSC) yang mampu berkembang ke European Economic Community (EEC) sampai dengan European Community (EC). Kerjasama di bidang ekonomi terlebih dahulu yang diutamakan oleh negara-negara Eropa dalam proses integrasi yang berkelanjutan hingga kini. Harapan tersebut semakin nyata ketika beberapa kebijakan yang dibuat bersama oleh negara-negara Eropa membuahkan hasil, seperti produksi yang paling dikenal oleh dunia, pesawat Airbus yang mampu bertahan hingga kini.

Keberhasilan tersebut pun dapat diteladani oleh ASEAN agar memulai proses integrasi dari pilar ekonomi. Namun, ada pula hal yang tidak dapat dimungkiri sehingga ASEAN pun harus pandai-pandai melihat kesempatan yang ada, seperti krisis yang tidak mampu dicegah oleh UE akibat jatuhnya mata uang hasil integrasi itu, Euro. Memang keinginan untuk membentuk ‘negara Asia Tenggara’ bukan merupakan hal yang mustahil untuk terwujud, tetapi proses tersebut perlu waktu dan proses yang bertahap. Tidak dapat dilakukan secara cepat dan bertahap. Selain itu, ada hal lain yang akan pula sulit untuk dicegah, seperti rasa nasionalisme yang telah dibangun dari setiap negara Asia Tenggara yang akan menjadi ‘batu sandungan’ dalam perjalanan proses integrasi itu.

Melihat apa yang sudah dilakukan sepanjang perjalanan ASEAN sampai pada proses untuk integrasi di tahun 2015, menjadi hal yang sangat memungkinkan adalah perjuangan negara-negara Asia Tenggara untuk memulai langkah tersebut dari pilar ekonomi. Ini juga yang dipertegas oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa dari ketiga pilar yang dapat dilakukan oleh kesepuluh negara anggota untuk memulai Masyarakat ASEAN pada tahun 2015 adalah dari sisi ekonomi dan dengan kemajuan yang telah dimiliki oleh ASEAN saat ini, hal-hal ekonomi yang telah direncanakan sepanjang satu dekade terakhir ini menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Ekonomi juga yang akan membantu ASEAN untuk membangun kemungkinan-kemungkinan lain dalam membangun proses integrasi dari dua pilar lainnya. ASEAN di masa kini pun sudah dilihat sebagai pasar yang potensial dan untuk meraup keuntungan ekonomi yang besar.

Isu-isu yang ada di dunia ini pun berpedoman pada perekonomian, tidak lagi sekadar terpaku pada politik. Kesadaran itu pun telah terbangun setelah berakhirnya Perang Dunia II di mana sang pemenang perang pun justru mengalami ketidakstabilan dalam perekonomiannya. Kebutuhan manusia akan jauh lebih penting dan ini berkaitan dengan ekonomi. Bisa-tidak bisa manusia akan selalu terikat pada ekonomi, pada keterbatasan, dan pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang tidak pernah terbatas. Dalam proses integrasi, khususnya Masyarakat ASEAN, tentu banyak peluang yang dapat dilakukan, tetapi melihat tujuan dan target yang hendak dicapai serta kemampuan dari seluruh negara peserta integrasi tersebut menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan.

Selain itu, saling keterkaitan ekonomi satu negara ASEAN dengan yang lain pun akan menjadi nilai tambah yang tidak dapat diabaikan dalam proses integrasi ini. Kemampuan negara ASEAN dalam menunjang perekonomian negara anggota lainnya pun akan lebih mudah dibandingkan menunjang politik ataupun sosial-budaya yang tidak memiliki tolok ukur yang pasti dan mutlak. Momentum ini pula yang sebaiknya dimanfaatkan oleh ASEAN ketika memulainya dari pilar ekonomi. Memulai dari pilar ekonomi bukanlah sebuah kesalahan, melainkan setelah belajar dari perjalanan waktu yang ada dan kesadaran atas kemampuan yang dimiliki oleh setiap negara anggota menjadi bagian yang baik ketika proses integrasi harus dilakukan dan menjawab kebutuhan atas pembuktian keberhasilan regionalisasi di masa kini.

Apabila disimpulkan, Masyarakat ASEAN harus dimulai dari ekonomi berdasarkan kajian filosofis adalah dari banyaknya perbedaan yang ada di antara seluruh negara anggota ASEAN, pilar yang telah berkembang dan memiliki kemampuan lebih dalam menjalankan visi dan misi yang hendak dicapai adalah pilar ekonomi. Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan adalah sisi historis dari perjalanan ASEAN sebagai organisasi regional dan UE yang telah memulai selangkah lebih awal dalam menjalankan proses tersebut. Momentum yang telah dibangun oleh ASEAN menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan begitu saja, khususnya upaya-upaya ASEAN dalam menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai pasar besar yang potensial dan memiliki nilai positif, baik dari ekspor maupun impor.

 

 

Referensi

 

ASEAN Secretariat. 2008. ASEAN Economic Community Blueprint. Jakarta: ASEAN Secretariat.

El-Agraa, Ali M.. 1994. The Economics of the European Community. London: Harvester Wheatsheaf.

Kishtainy, Niall. 2014. Economics in Minutes. London: Quercus Editions Ltd.

Serevino, Rodolfo C.. 2002. ASEAN Today and Tomorrow. Jakarta: ASEAN Secretariat.

Weatherbee, Donald D.. 2009. International Relations in Southeast Asia: The Struggle for Autonomy. Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc..

Weeks, Marcus. 2014. Philosophy in Minutes. London: Quercus Editions Ltd.

Yudhoyono, Susilo Bambang. 2012. “On Building the ASEAN Community: The Democratic Aspect”. Association of Southeast Asian Nations. <http://www.asean.org/resources/2012-02-10-08-47-56/leaders-view/item/on-building-the-asean-community-the-democratic-aspect>


2 Replies to “(Mengapa) Masyarakat ASEAN Harus Dimulai Dari Ekonomi: Sebuah Kajian Filosofis”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *